Rabu, 20 Februari 2013

Cerita Ngentot Enak Dengan Tante Ani

Cerita Ngentot | Seorang Tante
 
Sejak setelah menikah, ibu tinggal di rumah kecil kami beberapa  bulan sambil menunggu bangunan rumah baru mereka selesai. Lagi-lagi,  rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel ayah. Ayah menolak tinggal di  rumah tante Tina karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak process yang  dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja,  kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya.

Ayah pernah memohon  kepada ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang  saja bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli saja. Maklum ibu  adalah ‘business-minded person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena  pada akhirnya cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan.  Kini bengkel ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar di sana.  Banyak renovasi yang mereka lakukan yang membuat bengkel ayah tampak  lebih menarik.

Pelanggan ayah makin bertambah, dan kali ini  banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak memecat  pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan  memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel  yang lama.

Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar-benar  berubah 180 derajat. Kini ayah sering melancong ke luar negeri bersama  ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri dengan pembantu. Alasan  aku ditinggal mereka karena aku masih harus sekolah.

Ibu sering  mengundang teman-teman lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya  bernama tante Ani. Tante Ani saat itu hanya 15 tahun lebih tua dariku.  Semestinya dia pantas aku panggil kakak daripada tante, karena wajahnya  yang masih terlihat seperti orang berumur 20 tahunan. Tanti Ani adalah  pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik  ibu.

Wajah tante Ani tergolong cantik dengan kulitnya yang putih  bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main.  Maklum anak orang kaya yang suka tandang ke salon kecantikan. Tante Ani  sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu  berjam-jam. Tidak jarang tante Ani keluar bersama kami sekeluarga untuk  nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall.

Aku pernah  sempat bertanya tentang kehidupan pribadi tante Ani. Ibu bercerita bahwa  tante Ani itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Ani  sempat ingin menikah, tapi ternyata pihak dari laki-laki memutuskan  untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu,  karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti  ini.

Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari rumah.  Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya melancong ke kota  Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan pembantu saja  yang tinggal di rumah. Saat itu aku ingin sekali kabur dari rumah, dan  menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu  masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu  berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang  yang ketinggalan.

Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu,  suara tante Ani menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa  ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.

“Bernas kok ngga ikut papa mama ke Bandung?” tanya tante Ani.
“Kalo ke Bandung sih Bernas malas, tante. Kalo ke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore. Tante ada apartment di sana” tungkas tante Ani.
Aku  pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh. Ntar kita pigi rame-rame aja.  Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo penting.”.
“Kagak  ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante  bakalan makan sendirian nih. Bernas mau ngga temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”

Kami  berdua nonton bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Ani  mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di  atas lutut, dan atasannya memakai baju berwarna orange muda tanpa  lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira-kira antara 12 sampai 15cm  kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Ani putih mulus, tanpa ada  bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria di salon  ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih mulus.  Kami nonton TV dengan acara/channel seadanya saja sambil menunggu  sampai jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan  tante Ani suka bertanya tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan  tentang kehidupan cintaku di sekolah. Aku mengatakan kepada tante Ani  bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan  jaman SMA. Kalo naksir sih ada, cuma aku tidak sampai mengganggap  terlalu serius.

Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh tante  Ani semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dia pakai mulai  tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran apa-apa saat  itu.

Tiba-tiba tante Ani berkata, “Bernas, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?” tante Ani menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh  sok bersihan kamu Bernas. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian  kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.

Seperti  sapi dicucuk hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante  Ani. Ternyata memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu  kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru kali itu aku merasakan  enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan memang benar,  aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat.  Suara lembut membisikkan telingaku.

“Bernas, bangun yuk. Tante dah laper nih.” kata tante.
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.
“Udah  jam 7 lewat Bernas. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik  tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata  tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”

Sambil  malas-malasan aku bangun dari sofa. Kulihat tante Ani sedang  membenarkan posisi roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek sekali  sih sampe-sampe rok tante Ani tersingkap tinggi banget. Berarti dari  tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Ani, begitulah aku berpikir.  Ada rasa senang juga di dalam hati.

Setelah mencuci muka, ganti  pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan  makan keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku  pulang, karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci  rumah, untuk berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.

“Nih kamu yang setir mobil tante dong.”
“Ogah  ah, Bernas cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.”  candaku. Waktu itu tante Ani membawa sedan Honda, bukan Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Ani sambil tertawa kemenangan.

Mobil  melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta. Tante Ani seperti bebek  saja, ngga pernah stop ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh  banget yang mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe  ke mantan tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan  untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Ani tidak  protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia.

Setelah  makan, kita mampir ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Ani  mengajakku mampir ke rumahnya. Tante Ani tinggal sendiri di apartemen di  kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri karena  alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Ani sendiri tinggal di Bogor.  Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari tante Ani, yang tante  Ani tidak pernah merasa kekurangan materi.

Apartemen tante Ani  lumayan bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada  siapa-siapa yang tinggal di sana selain tante Ani. Jadi aku bisa maklum  apabila tante Ani sering keluar rumah. Pasti jenuh apabila tinggal  sendiri di apartemen.

“Anggap rumah sendiri Bernas. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Bernas mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.” cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.

Tiba-tiba  suara tante Ani menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa  ruangan sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri  terpampang di dinding. Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan  wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan  aku yakin pasti bukan barang yang murahan.

“Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Ani memecahkan suasana hening sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga  juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu,  karena seni itu mahal. Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia  tawarkan, tante pergi saja.”

Aku masih menyibukkan diri mengamati  lukisan-lukisan yang ada, dan tante Ani tidak bosan menjelaskan arti  dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Ani ternyata memiliki kecintaan  tinggi terhadap seni lukis.

“Ok deh. Kalo begitu Bernas mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu yah.” kataku.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.

Aku  juga merasa kasihan dengan keadaan tante Ani yang tinggal sendiri di  apartemen itu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi,  sampai nanti tante Ani sudah ingin tidur.

“Kita main UNO yuk?!” ajak tante Ani.
“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Ani. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Ani. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.

Tante  Ani masuk ke kamarnya lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk  ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama minuman. Tante Ani membawa  kacang mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on  rock (pake es batu). Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kamipun  mulai bermain-main santai sambil makan kacang mente. Hennesy yang aku  teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas  sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg  aku minum sendirian.

Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas.  Melihat kejadian ini, tante Ani menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa  aku bukan bakat peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1  gelas Hennessy sendirian.

“Tante, anterin Bernas pulang yah. Kepala ogut rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Ani.

Aku  merasa tante Ani berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi  lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Ani  minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat tingkahku yang suka menurut,  tante Ani mulai terlihat lebih berani lagi. Dia mengajakku main kartu  biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya berdua. Paling  tepat untuk bermain UNO itu berempat.

Tapi permainan kartu ini  menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang  kalah harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Ani ralat  menjadi ‘Truth & Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus  terang aja tante Ani sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan  dia sportif apabila dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu  meminta hukuman dengan ‘Truth’ punishment, lama-lama aku menjadi semakin  berani menanyakan yang bukan-bukan. Sebaliknya dengan tante Ani, dia  lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa  mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan  es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya  buat tante Ani menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku  terlihat lurus-lurus saja menurutnya.

Ini adalah juga kesempatan  untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga  heran kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang  sangat pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya,  kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai pertanyaan yang menjurus ke  seks seperti misalnya kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan.  Semuanya tanpa ragu-ragu tante Ani jawab semua pertanyaan-pertanyaan  pribadi yang aku lontarkan.

Kini permainan kami semakin wild dan  berani. Tante Ani mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth & Dare’  dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul  tante Ani.

“Yee, tante menang lagi. Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Ani dengan senyum kemenangan.
“Jangan  gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh  yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku.

Selang  beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas  lagi.”. Tante Ani kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung  emas pemberian ibu yang aku kenakan.

“Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …” candaku sambil tertawa gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya.

Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Ani bugil juga. Aku pengen sekali menang terus.

“Full house … yeahhh … kalah lagi tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira.
Terlihat tante Ani melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.
“Loh,  kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan  nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih  dianggap menempel dong.” jawabnya membela.

Aku rada gondok mendengar pembelaan tante Ani. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi.

“Straight  … Bernas … One Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!”  seru tante Ani girang. Aku pun segera melepas jaket aku yang kenakan.  Untung aku selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah  pembalasanku, kataku dalam hati.

“Bernas Three kind … tante … one  pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum. Dan  tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya.  Aku serentak menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan  kini yang terlihat hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat  jelas, putih bersih. Bernas junior dengan serentak langsung menegang,  dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya.

“Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil tersenyum malu.

“Yes  Full House, kali ini tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Ani  girang banget bisa dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku  terlanjang dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Ani sambil tersenyum.
Setelah  menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Ani kemudian beranjak  dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah  terlanjang. Tak lama kemudian tante Ani membawa sebotol wine merah yang  masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Ani.
Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami.

“Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi.
Tanpa  disuruh, tante Ani melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Ani  hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia  mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak  tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku sempat  berpikir apakah tante Ani mencukur semua bulu-bulu pubisnya.

Muka  tante Ani sedikit memerah. Kulihat tante Ani sudah menegak abis gelas  winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang  sedikit perduli dengan hal itu. Aku hanya bernafsu untuk memenangkan  permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante  Ani.

“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku.

Tante  Ani kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata  dengan nada genitnya “Sekarang Bernas tahan napas yah. Jangan sampai  seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Ani melepaskan BH-nya dan  serentak jatungku ingin copot. Benar apa kata tante Ani, aku seperti  terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas,  dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat  payudara wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Ani  sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.

“Aih  Bernas, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total.  Mau lanjut ngga?” tanya tante Ani. Aku hanya bisa menganggukkan kepala  pertanda ‘iya’.
“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih.  Dasar genit kamu.” tambah tante Ani lagi. Aku sekali lagi hanya bisa  mengangguk malu.

Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku  sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku  penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di  mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku  ingin sekali melihat bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba.

Akibat  tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Ani  meminta aku melepas celana yang aku kenakan. Kini aku terlanjang dada  dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Ani hanya  tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak  tawaran tante Ani untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing  lagi.

Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh  kami, permainan kali ini ada finalnya. Babak penentuan apakah tante Ani  akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam  itu malaikat keberuntungan berpihak kepadaku.

Ternyata harapanku  sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Ani.  Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Ani.  Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba  tante Ani mencegahnya.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau celana dalam mu  dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis  kayak begini” kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante  Ani terdiam sejenak kemudian tersenyum genit. Senyum genitnya ini lebih  menantang daripada yang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Ani.

Tanpa  berpikir ulang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Ani. Tante  Ani kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan  bibirku ke bibir tante Ani. Tante Ani diam sebentar, tak lama kemudian  bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan  bibirku mulai basah oleh air liur tante Ani. Bau wine merah sempat  tercium di hidungku.

Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha  menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Ani. Maklum ini baru  pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat  ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante  Ani. Tante Ani dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam  mulutku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang  dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Ani, dan kini lidah  kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang pula di  dalam mulut tante Ani.

Kami saling berciuman bibir dan lidah  kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku  panas dibuatnya. Tante Ani seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas  tante Ani pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia  tersangsang.

“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Ani.

Aku  pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita  berciuman. Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku  menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman  dengannya. Tante Ani menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun  saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.

“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar Bernas bosan ama tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.
“Kalo  ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Ani kemudian  terputus. Kalimat tante Ani ini masih menggantung bagiku, seakan-akan  dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku  terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Ani malam itu.

Aku  semakin berani dan menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan  kalo tante Ani sengaja untuk mengalah dalam bermain poker malam itu.  Terang aja aku menang lagi kali ini. Aku sudah terburu oleh napsuku  sendiri, dan aku sangat memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.

“Bernas menang lagi tuh. Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Ani sambil menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen emut-emut susu tante Ani.” jawabku tidak tau malu.

Ternyata  wajah tante Ani tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum  kepadaku sambil berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran  kamu, Bernas.”.
“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran. Tante Ani hanya mengangguk pertanda setuju.

Kemudian  aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante Ani. Bau parfum  harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa  ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Ani dengan lembut. Kedua  telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Ani,  memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara  tante Ani. AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya.  Kuluman yang tante Ani dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap tubuh  tante Ani. Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan  jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Ani perlahan-lahan  semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa  memastikan bahwa tante Ani saat ini sedang terangsang atau istilah  modern-nya ‘horny’.

“Bernasss … kamu nakal banget sih! … haahhh …  Tante kamu apain?” bisik tante Ani dengan nada terputus-putus. Aku  tidak mengubris kata-kata tante Ani, tapi malah semakin bersemangat  memainkan kedua puting susunya. Tante Ani tidak memberikan perlawanan  sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku  untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya.

Aku  mencoba mendorong tubuh tante Ani perlahan-lahan agar dia terbaring di  atas karpet. Ternyata tante Ani tidak menahan/menolak, bahkan tante Ani  hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya terbaring di atas karpet, aku  menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante Ani. Aku  perlahan-lahan menciumi leher tante Ani, dan oh my, wangi betul leher  tante Ani. Tante Ani memejamkan kedua matanya, dan tidak  berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya,  memberikan sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak  mengerti mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa yang harus aku  lakukan, padahal ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi suasana  seperti ini.

Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di atas  bibir tante Ani, dan kami kembali berciuman mesra sambil berperang lidah  di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Ani. Tanganku tidak  tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala  belakang tante Ani, sedangkan tangan kananku meremas-remas payudara kiri  tante Ani.

Tubuh tante Ani seperti cacing kepanasan. Nafasnya  terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman denganku.  Tanpa diberi komando, tante Ani tiba-tiba melepas celana dalamnya  sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Ani memberikan instinct  bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya.

Aku  ingin sekali melihat kemaluan tante Ani saat itu, namun tante Ani  tiba-tiba menarik tangan kananku untuk mendarat di kemaluannya.
“Alamak  …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/memek tante Ani mulus sekali.  Ternyata semua bulu jembut tante Ani dicukur abis olehnya. Dia menuntun  jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya.  Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu.  Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau  itil saja. Aku putar-putar itil tante Ani berotasi searah jarum jam atau  berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Ani mulai basah dan licin.

“Bernasss … kamu yah … aaahhhh … kok berani ama tante?” tanya tante Ani terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan Bernas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Bernasss … Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Ani lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Ani mulai serak-serak basah.

Aku  tetap memainkan itil tante Ani, dan ini membuatnya semakin menggeliat  hebat. Tak lama kemudian tante Ani menjerit kencang seakaan-akan terjadi  gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat  mencakar bahuku. Untung saja tante Ani bukan tipe wanita yang suka  merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Ani tidak sakit buatku.

“Bernasss  … tante datangggg uhhh oohhh …” erang tante Ani. Aku yang masih hijau  waktu itu kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu. Yang pasti  setelah mengatakan kalimat itu, tubuh tante Ani lemas dan nafasnya  terengah-engah.

Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana  dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa sejak kapan batang  penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Ani, tapi sedikit ragu,  karena takut akan ditolak oleh tante Ani. Keragu-raguanku ini terbaca  oleh tante Ani. Dengan lembutnya tante Ani berkata, “Bernas, kalo pengen  tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh  liat kontol Bernas dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah  panas.”.

Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh tante. Gaya  bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang penisku ke mulut  vagina tante Ani, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan. Ternyata  tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Ani. Selain mungkin  karena basahnya dinding-dinding memek tante Ani yang memuluskan jalan  masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang  telah masuk di dalam sana.

“Uhhh … ohhh … Bernasss … ahhh …” desah tante Ani.
Aku  coba mengocok-kocok memek tante Ani dengan penisku dengan  memaju-mundurkan pinggulku. Tante Ani terlihat semakin ‘horny’, dan  mendesah tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh Bernasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Ani.
Di  saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Ani, tiba-tiba aku disadarkan  oleh permintaan tante Ani, sehingga aku berhenti sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi … ” jawabku serius.
“Nanti  dikeluarin di luar yah, jangan di dalam. Tante mungkin lagi subur  sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga  punya stock pengaman sekarang. Jadi jangan dikeluarin di dalam yah.”  pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Ani genit.

Tanpa  menunda banyak waktu lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku  bisa merasakan memek tante Ani semakin basah saja, dan aku pun bisa  melihat bercak-bercak lendir putih di sekitar bulu jembutku.

Aku  mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan telingaku panas.  Tante Ani pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin terdengar  panas saja di telingaku. Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu  dengan tante Ani 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang  bakalan keluar dari penisku semakin mendekat saja.

“Bernasss …  ampunnn Bernasss … kontolnya kok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari  tadi … tante geliii banget nihhh …” kata tante Ani.
“Tante … Bernasss dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.

Puting  tante Ani semakin terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun  terlihat mengeras. Aku mendekatkan wajahku ke wajah tante Ani, dan bibir  kami saling berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya,  dan lidah kami saling berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak  berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas tubuh tante Ani.

Aku percepat kocokan penisku di dalam memek tante Ani. Tante Ani sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan saja.

“Bernasss  … tante datangggg … uhhh … ahhhhhh …” jerit tante Ani sambil memeluk  erat tubuhku. Ini pertanda tante Ani telah ‘orgasme’.

Aku pun  juga sama, lahar panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur  keluar. Aku masih ingat pesan tante Ani agar spermaku dilepas keluar  dari memek tante Ani.

“Tante … Bernassss datangggg …” jeritku  panik. Kutarik penisku dari dalam memek tante Ani, dan penisku  memuncratkan spermanya di perut tante Ani. Saking kencangnya, semburan  spermaku sampai di dada dan leher tante Ani.

“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan kepuasanku.
“Idihhh  … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante  Ani. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat mengomentari candaan  tante Ani.

Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku  merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Ani. Kepalaku masih  teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke  langit-langit apartment tante Ani. Aku baru saja menikmati yang namanya  surga dunia.

Tante Ani kemudian memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku tercium oleh hidungku.

“Bernas puas ngga?” tanya tante Ani.
“Bukan puas lagi tante … tapi Bernas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.
“Hmmm  … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini  masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Bernas?” tanya tante  Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas Junior … tuh tante liat  jembut Bernas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante  tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Ani sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.

“Bernas sering-sering datang ke rumah tante aja. Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante Ani.
“Sippp tante.” jawabku serentak girang.

Malam  itu aku nginap di rumah tante Ani. Keesokan harinya aku langsung pulang  ke rumah. Aku sempat minta jatah 1 kali lagi dengan tante Ani, namum  ajakanku ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan  teman-temannya.

Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap tante  Ani tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan ibu. Tante Ani  senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang bervariasi pula  selain apartementnya sendiri. Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat  yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku  (ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para  pegawai di sana). Tante Ani sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut  tante Ani seks dapat membuatnya merasa enak secara jasmani dan rohani,  belum lagi seks yang teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah  menceritakan kepadaku tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood  tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja  yaitu seks dan diet yang teratur.

Tante Ani paling suka ‘bermain’  tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai  alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil  kontrasepsi. Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat  setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom  boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi  di dalam memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Ani lupa  menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan  berejakulasi di luar (meskipun ini rawan kehamilannya tinggi juga).

Hubungan  gelap ini sempat berjalan hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki  perasaan cinta terhadap tante Ani. Maklum aku masih tergolong  remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi. Namun tante Ani menolaknya  dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Ani bertambah serius,  banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami. Tante Ani  sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku  benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah hati waktu itu (hampir  1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan  sakit hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Ani.
Saat  ini aku masih berhubungan baik dengan tante Ani. Kami kadang-kadang  menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1  bulan sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Ani sampai  sekarang masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single. Aku  putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan  pacarku, tante Ani sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian seks.  Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Ani, namun tante Ani  seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan  mencari seorang pelarian. Jadi tante Ani tidak pernah merasa bahwa dia  adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin membantu  meringkankan beban perasaan temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar